Ads 468x60px

Hiperealitas dalam Masa Postmodernisme







Permulaan kata postmodernisme ini berawal dari gerakan kebudayaan, yang berusaha ‘mengingkari’ ruang modernisme. Gerakan kebudayaan sebagai pelopor pencarian model yang khas dalam modernisme, yaitu mencari dasar dari segala pengetahuan tentang “apa”nya realitas dari segala realitas. Berharap dari sebuah realitas yang didapatkan dari ‘representasi’ massa ke dalam ruang obyektif yang bisa dibayangkan dan memiliki identitas bentuk suatu masyarakat massa.

Realitas dalam postmodernisme merupakan suatu dari yang ‘pasti’ dan sebuah bentuk kesadaran massa, kesadaran dari bentuk postmodernisme berawal dari tradisi filsafat  yang berasal dari fenomenologi suatu keadaan massa pada masyarakat kontemporer. Postmodernisme sebagai bentuk kritik dari modernisme, dalam modernisme filsafat memang berpusat pada epistemologi, yang bersandar pada gagasan tentang subyektivitas realita. 

Hiperealitas adalah suguhan ‘realitas’ yang lebih nyata dari pada yang aslinya. Dimana batas antara yang nyata (fakta) dan maya (palsu) sulit dibedakan. Sebuah dunia yang melebur. Atau memang dipaksa untuk dileburkan. Dengan kata lain dipaksa melebur.  Hiperrealitas mudahnya, asli tapi palsu. Atau, asli yang coba di aslikan. 

Banyak contoh-contoh hiperealitas yang terjadi di kehidupan sehari-hari saat ini. Dalam sinetron religi misalnya, hiperrealitas semakin terasa dengan tanda-tanda personifikasi yang kadang-kadang tidak mengacu sedikitpun pada realitas yang ada melainkan hanya menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika tanda tersebut hadir. Salah satu tanda yang mencolok dan selalu seakan-akan menjadi komoditas unggulan adalah penggunaan bentuk-bentuk makhluk halus baik secara animasi maupun efek make-up. Tanda ini sangat krusial untuk diinterpretasikan salah oleh para penonton. 

Secara denotatif, tanda berupa penampilan makhluk halus tidak mengacu pada satupun realitas yang ada didunia, yang berarti tidak ada satupun penanda (signifier) yang dapat secara reflektif diwakilkan oleh tanda ini. Tanda ini hanya bergerak pada tataran imajinasi yang kemudian diceritakan menjadi sebuah mitos dengan bentuk yang sepenuhnya rekayasa manusia. Oleh kekuatan penyiaran (broadcasting), mitos ini diputar kembali dari mitos tentang realitas menjadi mitos tentang mitos (meta-myth), sebuah penampilan yang tidak menceritakan apapun selain bahwa mitos hadir seolah-olah konstruksi realitas ada dibelakangnya. Padahal didalam kenyataannya, imajinasi penonton tidak mengarah pada mitos melainkan mereferensikannya pada kehidupan sehari-hari.

Dalam ranah teknologi komunikasi kita juga bisa menemukan fenomena ini. Seantero Indonesia sedang dilanda demam smart phone bermerk Blackberry. Blackberry atau BB istilah tren-nya menjadi aksesoris wajib bagi seseorang yang tidak ingin dikatakan ketinggalan jaman. Oleh karena tren itulah yang kemudian menjadikan setiap orang ingin memiliki barang yang menjadi tren semasa tersebut, maka kemudian tidaklah mengherankan Blackberry menjadi barang yang ingin dimiliki oleh setiap orang. Tren menjadi tema penting dalam kehidupan sosial bangsa ini termasuk juga dalam prilaku politik masyarakatnya.

Blackberry dan tren semasa, itulah yang kita kenal dengan hiperealitas. Hiperealitas diartikan secara harfiah adalah sebuah realitas yang berlebihan, sebuah realitas yang dimaknai melampaui makna sesungguhnya dari makna riil yang dimaksudkan. Sebagai sebuah konsep hiperealitas adalah satu kajian teoritik dalam postmodernisme akan tetapi terkadang pula konsep ini dimaknai sebagai sebuah makna lanjutan dari realitas.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...