Ads 468x60px

Konglomerasi dan Pengalihan Isu dalam Pemberitaan Media Massa di Indonesia



 

           

            Keberadaan media komunikasi saat ini menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Oleh sebab itu bermunculanlah berbagai sarana komunikasi yang diharapkan mampu mempercepat proses penyebaran informasi. Media massa merupakan salah satu bentuk sarana komunikasi yang paling efektif dewasa ini di dalam mensosialisasikan dan mendesiminasikan berbagai informasi ke masyarakat banyak. Media massa (cetak-elektronik) menjadi salah satu ujung tombak bagi percepatan penyebaran informasi bagi masyarakat, apalagi pada era globalisasi sekarang ini, ketika batasan-batasan dan hambatan-hambatan geografis, iklim/cuaca, dan lain-lain tidak menjadi penghalang berarti bagi tersebarnya informasi ke khalayak ramai (masyarakat).


Kefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat, serta perilaku dan pengalaman kesadaran masyarakat. Oleh karena itu pulalah banyak kelompok masyarakat yang berupaya menjadikan media massa sebagai sarana propaganda ide, cita-cita, nilai dan norma yang mereka ingin bentuk/ciptakan.


Dalam tatanan demokrasi,sebuah negara memerlukan adanya media massa sebagai pengontrol pemerintah atau istilah lainnya watchdog. Ini merupakan hal yang mutlak karena media massa merupakan salah satu bagian dari pilar demokrasi. Demokratisnya sebuah bangsa bisa diukur dari seberapa beraninya media massa menyuarakan ketidakadilan,ketidakbenaran,dan penyimpangan-penyimpangan hukum yang dilakukan  oleh pemerintah. Tanpa hal itu,maka sebuah negara hanya akan berlabel demokrasi,namun yang sebenarnya terjadi merupakan bentuk otoritarianisme atau kediktatoran semu.


            Media massa merupakan elemen penting dalam membentuk sebuah pemerintahan yang bersih,bebas KKN,dan demokratis. Hal tersebut terlihat dari adanya korelasi sistem politik sebuah bangsa dengan sistem pers yang berlaku dalam negara tersebut. Keadaan sosial politik sebuah negara dapat tergambarkan melalui liputan dalam media massa.


            Di Indonesia,khususnya setelah reformasi suasana demokrasi sangat terasa dengan bebasnya siapapun berbicara mengenai pemerintahan ataupun isu-isu yang berkaitan dengan pemerintah melalui media massa. Berbeda mungkin dengan negara tetangga,yang masyarakatnya masih sangat dibatasi atau dibuat menjadi tidak kritis terhadap pemerintahnya dengan menyuarakan aspirasinya. Sejak kejatuhan rezim Soeharto kebebasan berpendapat di Indonesia menemukan angin segar,bahkan cenderung berlebihan. Media massa dengan agresif memberitakan segala sesuatu mengenai pemerintahan, khususnya mengenai penyimpangan-penyimpangan kewenangan. Apakah itu kasus korupsi,kasus suap,dan jenis penyimpangan lainnya tak akan luput dari mata dan telinga pers.


            Setiap hari kita disuguhi oleh media massa dengan berbagai macam isu-isu atau wacana yang sedang mengemuka atau aktual. Sebagian besar pemberitaan yang disajikan merupakan masalah yang berkaitan dengan politik. Hari ini kita melihat dan mendengar bahwa ada kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok pejabat pemerintahan,keesokannya diliput mengenai pergolakan politik yang terjadi, dan lusanya muncul kasus lain lagi. Begitulah pola pemberitaan di media massa saat ini yang hanya mengejar keaktualan sebuah berita, namun tidak dikupas secara mendalam demi kepentingan publik.


            Setiap harinya, media massa memuat berita. Namun, seringkali berita yang diturunkan oleh media massa tidaklah mencerminkan realitas yang sesungguhnya, namun sudah tercampur dengan pandangan wartawan saat meliput dan membuat laporan sebuah berita. Padahal media berperan besar untuk menggambarkan bagaimana realitas seharusnya dipahami dan dijelaskan dengan cara tertentu kepada publik. Padahal, pekerjaan media massa seharusnya adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, jadi kesibukan utama yang harus dilakukan oleh media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan.



Dalam perkembangannya,media massa menjadi sebuah lembaga yang memiliki kepentingan-kepentingan atau dengan kata lain sudah tidak berimbang. Memang sebenarnya dari awal media massa  tidak bisa dikatakan sebagai suatu lembaga yang netral,karena tujuan awalnya adalah menyuarakan aspirasi atau hal-hal yang berpihak kepada rakyat. Namun sekarang yang terjadi adalah media massa menjadi sebuah elemen atau pilar dari demokrasi yang berpihak kepada pemilik modal atau golongan tertentu. Hal ini bisa dikaitkan dengan adanya fenomena konglomerasi media, sehingga masalah atau isu negatif yang berhubungan dengan sang bos media maupun golongannya, tidak akan diliput atau dialihkan dengan isu-isu lain yang tidak mengandung kepentingan-kepentingannya. Apalagi jika kita lihat di Indonesia,sudah mulai terjadi fenomena ini. Bahkan sebagian besar dari para konglomerat media ini juga merupakan tokoh politik dari partai-partai tertentu atau yang dekat dengan penguasa pemerintahan saat ini. Sehingga pengalihan isu-isu mengenai para pejabat tinggi ataupun tokoh-tokoh politik dari partai tertentu sangat rentan terjadi.



Pembahasan



            Jika kita berbicara mengenai pengalihan isu,sebenarnya sebenarnya langkah politik ini sudah sangat terkenal di era orde baru, ketika rezim masih tergolong represif, tidak ada kebebasan pers seperti sekarang. Komunikasinya masih sangat terbatas,menyuarakan ketidakadilan dan penyimpangan dilarang keras, bahkan bisa dijadikan tahanan politik.Hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan orde baru dibingkai sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Apapun yg dilakukan pemerintah saat itu semua tampak positif dan memihak pemerintah.


            Saat ini,ternyata langkah politik warisan orde yang dipimpin Soeharto itu masih ada bahkan semakin berkembang cara-caranya. Dengan euforia reformasi yang digadang-gadang membawa kebebasan pers,ternyata yag terjadi malah kebablasan. Media massa saat ini hanya dikuasai oleh segelintir orang dan yang mengkhawatirkan adalah keikutsertaan orang-orang tersebut dalam arena politik di Indonesia. Sudah tidak asing lagi kita dengan istilah “siapa yang menguasai media,maka dia akan menguasai dunia “. Konglomerasi media mungkin tidak terlalu merisaukan jika para pemilik modalnya tidak turut serta dalam kancah politik. Namun yang terjadi akhir-akhir ini bos-bos media tersebut satu per satu mulai memperlihatkan kecondongannya dalam perpolitikan nasional. Maurice Hinchey(seperti dikutip Baran,2011:51), anggota DPR AS dari New York menjelaskan bahwa konglomerasi ini menjadi ancaman untuk proses demokrasi:


Perubahan kepemilikan media telah terjadi secara cepat dan mengejutkan. Selama dua dekade terakhir, jumlah perusahaan-perusahaan media utama AS turun lebih dari setengah,sebagian besar korban dikendalikan oleh kurang dari sepuluh konglomerat media besar di mana media terus dilahap oleh raksasa ini,ide-ide pasar menyusut. Suara-suara baru dan independen yang tertahan. Perusahaan-perusahaan yang tetap berasa di bawah kewajiban untuk memberikan sedikit dapat diandalkan,yaitu kualitas jurnalisme. Cerita yang sangat penting untuk kesejahteraan negara telah digantikan oleh pembunuhan sensasional dan gosip selebriti.


            Situasi ini jelas-jelas sangat memprihatinkan. Bayangkan jika situasi di AS seperti yang digambarkan Maurice Hinchey terjadi di Indonesia. Jika semua media mainstream yang ada di Indonesia telah berada di bawah kontrol segelintir orang atau korporasi, apalagi jika mereka juga ikut berkecimpung dalam ranah perebutan kekuasaan di Indonesia atau perpolitikan nasional, media mana lagi yang dapat dipercaya sebagai pemberi informasi yang netral dalam arti tidak memihak kepentingan seseorang atau golongan tertentu,dalam hal ini golongan politik. Media massa bisa-bisa kehilangan fungsinya sebagai pengawas dan pengontrol pemerintahan yang sedang berjalan. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi menjadi hilang maknanya karena dalam penerapannya informasi-informasi yang diberikan tidak memihak kepada publik. Publik pun akhirnya terbawa arus-arus pemberitaan yang tidak berimbang sehingga kebenaran yang terjadi pun terkaburkan.


           Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah memimpin Indonesia hampir selama dua periode,tentunya banyak hal-hal yang sudah terjadi. Memang masa kepemimpinan SBY tidak dipungkiri menghasilkan sejumlah kemajuan atau prestasi yang cukup menggembirakan, seperti kenaikan jumlah cadangan devisa negara, pertumbuhan ekonomi yang baik, nilai mata uang rupiah yang cenderung menguat, dan perkembangan-perkembangan lain yang sebagian besar berada pada sektor ekonomi, lebih khusus lagi ekonomi makro. Namun kemajuan-kemajuan tersebut tertutupi dengan muncul banyaknya kasus-kasus penyimpangan kewenangan dan ketidakadilan yang mencoreng citra pemerintahan SBY sendiri.


            Kasus-kasus yang terjadi pada pemerintahan SBY membuat sang Pemimpin Negara tersebut pada awal terpilih untuk kedua kalinya sebagai presiden menjanjikan penyelesaian masalah tersebut. Karena sebagian besar kasus yang terjadi adalah korupsi SBY lebih berkonsentrasi pada hal tersebut. Namun ternyata janji tinggal janji,seperti kelakuan biasanya seorang yang ingin mendapatkan kekuasaan, iming-iming di awal namun implementasi dari janji kampanyenya nihil. Banyak sekali kasus korupsi yang terjadi,namun yang terselesaikan hanya yang berskala kecil. Demikian juga dengan permasalahan-permasalahan politik lainnya,elit pemerintahan yang terlibat seolah tak mampu untuk disentuh oleh kekuatan hukum.


            Banyak sekali permasalahan-permasalahan politik yang terjadi di Indonesia. Tapi jika kita cermati, ternyata isu-isu tersebut hanya panas dibicarakan pada satu waktu tertentu, namun setelah itu hilang bagaikan ditelan bumi. Tidak ada tindak lanjut yang tegas, khususnya pada kasus-kasus yang berhubungan dengan elit politik negara ini. Seolah-olah pejabat-pejabat tersebut dilindungi,atau secara otomatis terlindungi karena isu-isu yang berkaitan dengan mereka dialihkan dengan isu-isu baru yang tidak ada hubungannya sama sekali. Masyarakat Indonesia sangat mudah lupa,atau bisa jadi dibuat lupa sehingga kasus-kasus yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintahan tadi menjadi tidak ada kelanjutannya. Padahal sebagian besar kasus-kasus tersebut sangat tidak memihak rakyat, atau dengan kata lain merugikan publik. Seperti kasus korupsi besar,skandal suap,pengemplangan pajak dan masih banyak lagi lainnya.


            Mari kita perhatikan beberapa kasus yang pernah mencuat dan hangat dibicarakan namun sekarang tak tahu lagi rimbanya. Pertama, kasus skandal Bank Century. Kasus mengenai pemberian bailout atau dana talangan dari Bank Indonesia  kepada Bank Century pada awalnya sangat menyita perhatian media massa secara luas. Semua media massa baik cetak maupun elektronik memberitakannya selama berbulan-bulan. Sudah jelas ada keterlibatan sejumlah petinggi negara yang turut andil menerima bagian dari dana tersebut, yaitu mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan wakil presiden Boediono ketika masih menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia. Panitia khusus atau pansus pun sudah dibentuk untuk mengusutnya. Namun,tiba-tiba sebuah pemberitaan mengenai pengangkatan Sri Mulyani menjadi Managing Director Bank Dunia mengemuka dan mengalihkan isu Century. Publik seolah-olah dibuat bangga akan terpilihnya seorang warga negara Indonesia menduduki posisi strategis di lembaga keuangan dunia tersebut. Perlahan tapi pasti,fokus pemberitaan mulai berubah arah. Masyarakat dialihkan perhatiannya dari skandal besar tersebut kepada isu lain. Lambat laun kasus Century mulai menguap dan tidak pernah diangkat lagi. Heryanto (Commline,Jurnal Ilmu Komunikasi,No.2,Juli 2010:113)   menyebut  “ Kasus Century pada kenyataannya bersinggungan dengan banyak kalangan elit politik baik yang terdapat di pemerintahan maupun di luar pemerintahan.”


Kedua,kasus pengemplangan pajak atau lebih dikenal dengan sebutan kasus Gayus, karena aktor utamanya adalah seorang pegawai yang bekerja di kantor pajak. Seperti kasus di atas,awalnya seluruh media gencar memberitakan isu ini. Hingga setiap hari pada waktu itu pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik didominasi oleh Gayus. Bahkan ketika keluar tanpa izin dari rumah tahanan setelah dijadikan tersangka atau bahasa lainnya adalah plesiran ke luar negeri, media massa semakin bersemangat mengejar pemberitaan mengenai masalah ini dan menghubungkan dengan adanya kongkalikong di dalam rutan. Namun ketika akhirnya Gayus tertangkap dan dikembalikan ke rutan, dan ingin berbicara blak-blakan untuk mengungkap siapa sebenarnya bos besar dibalik kasusnya itu, muncul isu mengenai Dewan Revolusi Islam yang seolah menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang sekarang, yaitu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lalu disambung dengan pemberitaan kerusuhan di Cikeusik. Kasus Gayus pun hingga sekarang tak terdengar lagi gaungnya.


            Ketiga, kasus yang juga mengindikasikan keterlibatan elit pemerintahan, yaitu kasus korupsi wisma atlet sea games. Kasus yang menjadi kambing hitam tersendatnya proyek pembangunan  untuk perhelatan terakbar di Asia Tenggara tersebut awalnya diberitakan tanpa henti karena melibatkan Nazaruddin, salah satu fungsionaris partai yang berkuasa di Indonesia saat ini yaitu demokrat. Ketika Nazaruddin kabur ke luar negeri karena mengetahui dirinya akan dicekal oleh KPK media massa masih terus memberitakannya secara intensif. Ketika dia tertangkap di Kolombia dan dibawa pulang ke Indonesia pun media masih terus gencar meliput. Sampai akhirnya ketika Nazaruddin ingin membongkar siapa saja yang terlibat dalam kasus ini dan memberi isyarat kalau ada pejabat tinggi pemerintah yang bermain di dalamnya, muncul lagi kasus-kasus lain yang mengacaukan fokus publik. Pemberitaan mengenai skandal wisma atlet pun menurun dan dikaburkan berbagai masalah baru lainnya.


            Kasus-kasus di atas memperlihatkan betapa media selalu dijadikan sebagai sarana pengalihan isu. Dan juga menggambarkan bagaimana seorang pejabat tinggi atau elit pemerintahan yang terlibat dalam kasus-kasus besar penyimpangan kewenangan sangat sulit untuk disentuh dan dibongkar kejahatannya. Pemerintah selalu berhasil melakukan cara ini agar citra pemerintahannya tetap terjaga walaupun bergelimang dengan sejuta permasalahan.


            Pemerintah selalu menggunakan cara ini ketika sudah mulai terpojok oleh kasus yang dilakukan oknumnya sendiri. Namun pada kenyataannya metode ini menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan yang sedang berjalan. Publik semakin pintar untuk menilai jika suatu isu dialihkan karena cara ini telah dilakukan berulang kali sehingga masyarakat menjadi hafal dan peka terhadap hal tersebut.


            Media massa menjadi alat yang paling penting dalam menciptakan, mengembangkan informasi di tengah-tengah masyarakat dan bahkan menenggelamkan isu-isu sebelumnya. Secara teoritis,pernyataan tersebut mungkin bisa digambarkan oleh kutipan di bawah ini:


            Dilihat dari sudut pandang inilah sebenarnya secara teoritis media memiliki peran mengalihkan isu dalam konteks karena ada peristiwa yang lebih baru dan lebih aktual. Dalam perspektif lain, kecenderungan asumsi ini juga dipicu oleh tingkat persaingan media yang begitu ketat dan kompetitif. Media yang selalu menyajikan peristiwa paling baru, aktual dengan ragam sudut pandang yang lebih kreatif dan inovatif dalam menyajikan informasi, ia akan lebih dapat mendapatkan pangsa pasarnya. Dalam konteks inilah kemudian kita bisa melihat bagaimana sebuah peristiwa politik, ekonomi, hukum dan sebagainya seolah-olah begitu cepat muncul dan tenggelam sesuai dengan trend informasi. (Trinanda,   http://politik.kompasiana.com/2011/03/25/problem-kekuasaan-politik-yudhoyono-pengalihan-isu-dan-fakta-opini-yang-berhasil-disumirkan,akses 27 Desember 2011).



                        Pengalihan isu sebagaimana kita ketahui dilakukan agar publik yang mengikuti perkembangan isu-isu seputar penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah teralihkan perhatiannya kepada masalah lain. Sehingga lambat laun mereka menjadi lupa dan kasus tersebut pun tidak diusut tuntas lagi. Dan pejabat-pejabat yang terlibat di dalamnya pun terbebas dari investigasi. Dengan kata lain, opini publik yang  terbentuk pun tidak lagi terkonsentrasi pada masalah atau isu yang ingin ditutupi tersebut. Opini publik di sini, Nuruddin (2001:55) menjelaskan,” kelompok yang tidak terorganisasi serta menyebar di berbagai tempat dengan disatukan oleh suatu isu tertentu dengan saling mengadakan kontak satu sama lain dan biasanya melalui media massa.


                        Lasswell (seperti dikutip Severin dan Tankard,2005:386-388) mengatakan media massa memiliki empat fungsi,yaitu:pengawasan,korelasi,penyampaian warisan sosial dan hiburan. Pertanyaannya sekarang, jika pengalihan isu menjadi metode yang sering dilakukan media massa, bukankah layak jika fungsi media massa bertambah satu lagi?



            Penutup

           

           

                        Media massa merupakan bagian penting dari suatu sistem demokrasi. Dengan adanya media massa jalannya pemerintahan bersistem demokrasi akan terkontrol,terawasi,dan tetap terjaga pada jalurnya. Hal itu sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai watchdog atau pengawas. Media massa juga harus bekerja sesuai dengan aturan yang telah ada di dalam undang-undang.


            Media massa sebagai corong atau sarana bagi rakyat untuk menyampaikan ide-ide,aspirasi,serta pendapat masyarakat tidak boleh ada unsur kepentingan golongan tertentu. Kemudian bagaimana dengan fenomena konglomerasi media yang semakin banyak di Indonesia? Tentu ini merupakan hambatan bagi jalannya pemberitaan yang netral. Hal ini jelas mengkhawatirkan karena jalur-jalur informasi di Indonesia hanya akan dikuasai segelintir orang saja dari sekian banyak masyarakat di Indonesia. Publik akan digiring opininya kepasa hal-hal yang menyangkut dengan kepentingan-kepentingan konglomerat itu saja.


            Media massa juga diharapkan agar menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Jangan sampai hanya mengejar keaktualan atau nilai sebuah berita namun tidak pernah tuntas diinvestigasi. Media massa harus tetap berada di pihak rakyat sebagai pengawal demokrasi. Demokrasi itu sendiri adalah dari rakyat,oleh rakyat,dan untuk rakyat. Jadi sudah sepantasnya kepentingan rakyat lebih diutamakan dan diperjuangkan dalam sebuah sistem demokrasi.


            Kemudian menyikapi pengalihan-pengalihan isu yang terjadi dalam pemberitaan media massa di Indonesia kita sebagai publik jangan mudah teralihkan perhatiannya. Kita tidak boleh lupa pada kasus-kasus besar yang terjadi. Dengan begitu kita bisa mengontrol kasus-kasus tersebut hingga diusut sampai tuntas dan tidak ada lagi elit pemerintahan atau pejabat tinggi yang dengan mudah lolos dari jeratan hukum setelah melanggar kewenangan seenaknya.


            Pengalihan isu mengenai pelanggaran kewenangan oleh elit pemerintahan harus diminimalisir oleh media massa dengan cara tetap konsisten pada pemberitaan kasus-kasus besar secara berkelanjutan sampai tuntas diinvestigasi. Dengan demikian negara ini akan bersih dari setiap pelanggaran kewenangan baik itu korupsi,kolusi,pengemplangan pajak dan yang sejenisnya.


            Terakhir muncul sebuah pertanyaan, “Seandainya semua media massa yang ada di Indonesia sudah berada di bawah kekuasaan segelintir orang,siapa lagi yang dapat diandalkan untuk mengawal demokrasi? Tentu takkan terbayang bagaimana jadinya negara ini ke depan. Kita hanya bisa berharap semoga para konglomerat media tersebut menggunakan kekuasaannya atas informasi dengan berpihak kepada rakyat dan tidak memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri atau golongannya.









Daftar Pustaka



Buku


Baran,Stanley J.Pengantar Komunikasi Massa:Literasi Media dan Budaya, terj. Wulung Wira Mahendra. Vol 6. Jakarta: Salemba Humanika,2011.

Nurudin.Komunikasi Propaganda.Bandung: Remaja Rosdakarya,2001.

Severin,Werner J.,Tankard,James W.Teori Komunikasi:Sejarah,Metode,dan Terapan dalam Media Massa, terj. Sugeng Hariyanto. Vol 5. Jakarta:Kencana, 2005.


Jurnal 


Heryanto,Gun Gun. “Kepercayaan Publik dalam Polemik Kasus Century di Media Massa dan Situs Jejaring Sosial,” Commline: Jurnal Ilmu Komunikasi, I (Juli, 2010), hal 112-129.


Internet

Trinanda,Andi. Problem Kekuasaan Politik Yudhoyono: Pengalihan Isu dan Fakta Opini yang Berhasil Disumirkan?” http://politik.kompasiana.com/2011/03/25/problem-kekuasaan-politik-yudhoyono-pengalihan-isu-dan-fakta-opini-yang-berhasil-disumirkan, (akses 27 Desember 2011)



           

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...