Permulaan kata
postmodernisme ini berawal dari gerakan kebudayaan, yang berusaha ‘mengingkari’
ruang modernisme. Gerakan kebudayaan sebagai pelopor pencarian model yang khas
dalam modernisme, yaitu mencari dasar dari segala pengetahuan tentang “apa”nya
realitas dari segala realitas. Berharap dari sebuah realitas yang didapatkan
dari ‘representasi’ massa ke dalam ruang obyektif yang bisa dibayangkan dan
memiliki identitas bentuk suatu masyarakat massa.
Realitas dalam
postmodernisme merupakan suatu dari yang ‘pasti’ dan sebuah bentuk kesadaran
massa, kesadaran dari bentuk postmodernisme berawal dari tradisi filsafat yang berasal dari fenomenologi suatu keadaan
massa pada masyarakat kontemporer. Postmodernisme sebagai bentuk kritik dari
modernisme, dalam modernisme filsafat memang berpusat pada epistemologi, yang
bersandar pada gagasan tentang subyektivitas realita.
Hiperealitas adalah suguhan ‘realitas’
yang lebih nyata dari pada yang aslinya. Dimana batas antara yang nyata (fakta)
dan maya (palsu) sulit dibedakan. Sebuah dunia yang melebur. Atau memang
dipaksa untuk dileburkan. Dengan kata lain dipaksa melebur. Hiperrealitas
mudahnya, asli tapi palsu. Atau, asli yang coba di aslikan.
Banyak contoh-contoh hiperealitas
yang terjadi di kehidupan sehari-hari saat ini. Dalam
sinetron religi misalnya, hiperrealitas semakin terasa dengan tanda-tanda
personifikasi yang kadang-kadang tidak mengacu sedikitpun pada realitas yang
ada melainkan hanya menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika
tanda tersebut hadir. Salah satu tanda yang mencolok dan selalu seakan-akan
menjadi komoditas unggulan adalah penggunaan bentuk-bentuk makhluk halus baik secara
animasi maupun efek make-up. Tanda ini sangat krusial untuk diinterpretasikan
salah oleh para penonton.
Secara denotatif, tanda berupa
penampilan makhluk halus tidak mengacu pada satupun realitas yang ada didunia,
yang berarti tidak ada satupun penanda (signifier) yang dapat secara
reflektif diwakilkan oleh tanda ini. Tanda ini hanya bergerak pada tataran
imajinasi yang kemudian diceritakan menjadi sebuah mitos dengan bentuk yang
sepenuhnya rekayasa manusia. Oleh kekuatan penyiaran (broadcasting), mitos
ini diputar kembali dari mitos tentang realitas menjadi mitos tentang mitos (meta-myth),
sebuah penampilan yang tidak menceritakan apapun selain bahwa mitos hadir
seolah-olah konstruksi realitas ada dibelakangnya. Padahal didalam
kenyataannya, imajinasi penonton tidak mengarah pada mitos melainkan
mereferensikannya pada kehidupan sehari-hari.
Dalam ranah teknologi komunikasi
kita juga bisa menemukan fenomena ini. Seantero Indonesia sedang
dilanda demam smart phone bermerk Blackberry. Blackberry atau BB istilah
tren-nya menjadi aksesoris wajib bagi seseorang yang tidak ingin dikatakan
ketinggalan jaman. Oleh karena tren itulah yang kemudian menjadikan setiap
orang ingin memiliki barang yang menjadi tren semasa tersebut, maka kemudian
tidaklah mengherankan Blackberry menjadi barang yang ingin dimiliki oleh setiap
orang. Tren menjadi tema penting dalam kehidupan sosial bangsa ini termasuk
juga dalam prilaku politik masyarakatnya.
Blackberry dan
tren semasa, itulah yang kita kenal dengan hiperealitas. Hiperealitas diartikan
secara harfiah adalah sebuah realitas yang berlebihan, sebuah realitas yang
dimaknai melampaui makna sesungguhnya dari makna riil yang dimaksudkan. Sebagai
sebuah konsep hiperealitas adalah satu kajian teoritik dalam postmodernisme
akan tetapi terkadang pula konsep ini dimaknai sebagai sebuah makna lanjutan
dari realitas.
0 komentar:
Posting Komentar