Keberadaan media komunikasi saat
ini menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Oleh sebab
itu bermunculanlah berbagai sarana komunikasi yang diharapkan mampu mempercepat
proses penyebaran informasi. Media massa merupakan salah satu bentuk sarana
komunikasi yang paling efektif dewasa ini di dalam mensosialisasikan dan
mendesiminasikan berbagai informasi ke masyarakat banyak. Media massa
(cetak-elektronik) menjadi salah satu ujung tombak bagi percepatan penyebaran
informasi bagi masyarakat, apalagi pada era globalisasi sekarang ini, ketika
batasan-batasan dan hambatan-hambatan geografis, iklim/cuaca, dan lain-lain
tidak menjadi penghalang berarti bagi tersebarnya informasi ke khalayak ramai
(masyarakat).
Kefektifan serta
peranannya yang begitu hebat menjadikan media massa menjadi salah satu komponen
penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat, serta perilaku dan pengalaman
kesadaran masyarakat. Oleh karena itu pulalah banyak kelompok masyarakat yang
berupaya menjadikan media massa sebagai sarana propaganda ide, cita-cita, nilai
dan norma yang mereka ingin bentuk/ciptakan.
Dalam
tatanan demokrasi,sebuah negara memerlukan adanya media massa sebagai
pengontrol pemerintah atau istilah lainnya watchdog.
Ini merupakan hal yang mutlak karena media massa merupakan salah satu
bagian dari pilar demokrasi. Demokratisnya sebuah bangsa bisa diukur dari
seberapa beraninya media massa menyuarakan ketidakadilan,ketidakbenaran,dan
penyimpangan-penyimpangan hukum yang dilakukan
oleh pemerintah. Tanpa hal itu,maka sebuah negara hanya akan berlabel
demokrasi,namun yang sebenarnya terjadi merupakan bentuk otoritarianisme atau
kediktatoran semu.
Media massa merupakan elemen penting
dalam membentuk sebuah pemerintahan yang bersih,bebas KKN,dan demokratis. Hal
tersebut terlihat dari adanya korelasi sistem politik sebuah bangsa dengan
sistem pers yang berlaku dalam negara tersebut. Keadaan sosial politik sebuah
negara dapat tergambarkan melalui liputan dalam media massa.
Di Indonesia,khususnya setelah
reformasi suasana demokrasi sangat terasa dengan bebasnya siapapun berbicara
mengenai pemerintahan ataupun isu-isu yang berkaitan dengan pemerintah melalui
media massa. Berbeda mungkin dengan negara tetangga,yang masyarakatnya masih
sangat dibatasi atau dibuat menjadi tidak kritis terhadap pemerintahnya dengan
menyuarakan aspirasinya. Sejak kejatuhan rezim Soeharto kebebasan berpendapat
di Indonesia menemukan angin segar,bahkan cenderung berlebihan. Media massa
dengan agresif memberitakan segala sesuatu mengenai pemerintahan, khususnya
mengenai penyimpangan-penyimpangan kewenangan. Apakah itu kasus korupsi,kasus
suap,dan jenis penyimpangan lainnya tak akan luput dari mata dan telinga pers.
Setiap hari kita disuguhi oleh media
massa dengan berbagai macam isu-isu atau wacana yang sedang mengemuka atau
aktual. Sebagian besar pemberitaan yang disajikan merupakan masalah yang
berkaitan dengan politik. Hari ini kita melihat dan mendengar bahwa ada kasus
korupsi yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok pejabat
pemerintahan,keesokannya diliput mengenai pergolakan politik yang terjadi, dan
lusanya muncul kasus lain lagi. Begitulah pola pemberitaan di media massa saat
ini yang hanya mengejar keaktualan sebuah berita, namun tidak dikupas secara
mendalam demi kepentingan publik.
Setiap harinya, media massa memuat
berita. Namun, seringkali berita yang diturunkan oleh media massa tidaklah
mencerminkan realitas yang sesungguhnya, namun sudah tercampur dengan pandangan
wartawan saat meliput dan membuat laporan sebuah berita. Padahal media berperan
besar untuk menggambarkan bagaimana realitas seharusnya dipahami dan dijelaskan
dengan cara tertentu kepada publik. Padahal, pekerjaan media massa seharusnya adalah
menceritakan peristiwa-peristiwa, jadi kesibukan utama yang harus dilakukan
oleh media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan
disiarkan.
Dalam
perkembangannya,media massa menjadi sebuah lembaga yang memiliki
kepentingan-kepentingan atau dengan kata lain sudah tidak berimbang. Memang
sebenarnya dari awal media massa tidak
bisa dikatakan sebagai suatu lembaga yang netral,karena tujuan awalnya adalah
menyuarakan aspirasi atau hal-hal yang berpihak kepada rakyat. Namun sekarang
yang terjadi adalah media massa menjadi sebuah elemen atau pilar dari demokrasi
yang berpihak kepada pemilik modal atau golongan tertentu. Hal ini bisa
dikaitkan dengan adanya fenomena konglomerasi media, sehingga masalah atau isu
negatif yang berhubungan dengan sang bos media maupun golongannya, tidak akan
diliput atau dialihkan dengan isu-isu lain yang tidak mengandung
kepentingan-kepentingannya. Apalagi jika kita lihat di Indonesia,sudah mulai
terjadi fenomena ini. Bahkan sebagian besar dari para konglomerat media ini
juga merupakan tokoh politik dari partai-partai tertentu atau yang dekat dengan
penguasa pemerintahan saat ini. Sehingga pengalihan isu-isu mengenai para
pejabat tinggi ataupun tokoh-tokoh politik dari partai tertentu sangat rentan
terjadi.
Pembahasan
Jika kita
berbicara mengenai pengalihan isu,sebenarnya sebenarnya langkah politik ini
sudah sangat terkenal di era orde baru, ketika rezim masih tergolong represif,
tidak ada kebebasan pers seperti sekarang. Komunikasinya masih sangat
terbatas,menyuarakan ketidakadilan dan penyimpangan dilarang keras, bahkan bisa
dijadikan tahanan politik.Hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan
orde baru dibingkai sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kontroversi di
kalangan masyarakat. Apapun yg dilakukan pemerintah saat itu semua tampak
positif dan memihak pemerintah.
Saat ini,ternyata langkah politik
warisan orde yang dipimpin Soeharto itu masih ada bahkan semakin berkembang
cara-caranya. Dengan euforia reformasi yang digadang-gadang membawa kebebasan
pers,ternyata yag terjadi malah kebablasan. Media massa saat ini hanya dikuasai
oleh segelintir orang dan yang mengkhawatirkan adalah keikutsertaan orang-orang
tersebut dalam arena politik di Indonesia. Sudah tidak asing lagi kita dengan
istilah “siapa yang menguasai media,maka dia akan menguasai dunia “. Konglomerasi
media mungkin tidak terlalu merisaukan jika para pemilik modalnya tidak turut
serta dalam kancah politik. Namun yang terjadi akhir-akhir ini bos-bos media
tersebut satu per satu mulai memperlihatkan kecondongannya dalam perpolitikan
nasional. Maurice Hinchey(seperti dikutip Baran,2011:51), anggota DPR AS dari
New York menjelaskan bahwa konglomerasi ini menjadi ancaman untuk proses
demokrasi:
Perubahan
kepemilikan media telah terjadi secara cepat dan mengejutkan. Selama dua dekade
terakhir, jumlah perusahaan-perusahaan media utama AS turun lebih dari
setengah,sebagian besar korban dikendalikan oleh kurang dari sepuluh
konglomerat media besar di mana media terus dilahap oleh raksasa ini,ide-ide
pasar menyusut. Suara-suara baru dan independen yang tertahan.
Perusahaan-perusahaan yang tetap berasa di bawah kewajiban untuk memberikan sedikit
dapat diandalkan,yaitu kualitas jurnalisme. Cerita yang sangat penting untuk
kesejahteraan negara telah digantikan oleh pembunuhan sensasional dan gosip
selebriti.
Situasi ini jelas-jelas sangat
memprihatinkan. Bayangkan jika situasi di AS seperti yang digambarkan Maurice
Hinchey terjadi di Indonesia. Jika semua media mainstream yang ada di Indonesia telah berada di bawah kontrol
segelintir orang atau korporasi, apalagi jika mereka juga ikut berkecimpung
dalam ranah perebutan kekuasaan di Indonesia atau perpolitikan nasional, media
mana lagi yang dapat dipercaya sebagai pemberi informasi yang netral dalam arti
tidak memihak kepentingan seseorang atau golongan tertentu,dalam hal ini
golongan politik. Media massa bisa-bisa kehilangan fungsinya sebagai pengawas
dan pengontrol pemerintahan yang sedang berjalan. Media massa sebagai salah
satu pilar demokrasi menjadi hilang maknanya karena dalam penerapannya
informasi-informasi yang diberikan tidak memihak kepada publik. Publik pun
akhirnya terbawa arus-arus pemberitaan yang tidak berimbang sehingga kebenaran
yang terjadi pun terkaburkan.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono yang sudah memimpin Indonesia hampir selama dua periode,tentunya
banyak hal-hal yang sudah terjadi. Memang masa kepemimpinan SBY tidak
dipungkiri menghasilkan sejumlah kemajuan atau prestasi yang cukup
menggembirakan, seperti kenaikan jumlah cadangan devisa negara, pertumbuhan
ekonomi yang baik, nilai mata uang rupiah yang cenderung menguat, dan
perkembangan-perkembangan lain yang sebagian besar berada pada sektor ekonomi, lebih
khusus lagi ekonomi makro. Namun kemajuan-kemajuan tersebut tertutupi dengan
muncul banyaknya kasus-kasus penyimpangan kewenangan dan ketidakadilan yang
mencoreng citra pemerintahan SBY sendiri.
Kasus-kasus yang terjadi pada
pemerintahan SBY membuat sang Pemimpin Negara tersebut pada awal terpilih untuk
kedua kalinya sebagai presiden menjanjikan penyelesaian masalah tersebut. Karena
sebagian besar kasus yang terjadi adalah korupsi SBY lebih berkonsentrasi pada
hal tersebut. Namun ternyata janji tinggal janji,seperti kelakuan biasanya
seorang yang ingin mendapatkan kekuasaan, iming-iming di awal namun
implementasi dari janji kampanyenya nihil. Banyak sekali kasus korupsi yang
terjadi,namun yang terselesaikan hanya yang berskala kecil. Demikian juga
dengan permasalahan-permasalahan politik lainnya,elit pemerintahan yang
terlibat seolah tak mampu untuk disentuh oleh kekuatan hukum.
Banyak sekali
permasalahan-permasalahan politik yang terjadi di Indonesia. Tapi jika kita
cermati, ternyata isu-isu tersebut hanya panas dibicarakan pada satu waktu
tertentu, namun setelah itu hilang bagaikan ditelan bumi. Tidak ada tindak
lanjut yang tegas, khususnya pada kasus-kasus yang berhubungan dengan elit
politik negara ini. Seolah-olah pejabat-pejabat tersebut dilindungi,atau secara
otomatis terlindungi karena isu-isu yang berkaitan dengan mereka dialihkan
dengan isu-isu baru yang tidak ada hubungannya sama sekali. Masyarakat
Indonesia sangat mudah lupa,atau bisa jadi dibuat lupa sehingga kasus-kasus
yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintahan tadi menjadi tidak ada
kelanjutannya. Padahal sebagian besar kasus-kasus tersebut sangat tidak memihak
rakyat, atau dengan kata lain merugikan publik. Seperti kasus korupsi
besar,skandal suap,pengemplangan pajak dan masih banyak lagi lainnya.
Mari kita perhatikan beberapa kasus
yang pernah mencuat dan hangat dibicarakan namun sekarang tak tahu lagi
rimbanya. Pertama, kasus skandal Bank Century. Kasus mengenai pemberian bailout atau dana talangan dari Bank
Indonesia kepada Bank Century pada
awalnya sangat menyita perhatian media massa secara luas. Semua media massa
baik cetak maupun elektronik memberitakannya selama berbulan-bulan. Sudah jelas
ada keterlibatan sejumlah petinggi negara yang turut andil menerima bagian dari
dana tersebut, yaitu mantan menteri keuangan Sri Mulyani dan wakil presiden
Boediono ketika masih menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia. Panitia khusus
atau pansus pun sudah dibentuk untuk mengusutnya. Namun,tiba-tiba sebuah
pemberitaan mengenai pengangkatan Sri Mulyani menjadi Managing Director Bank Dunia mengemuka dan mengalihkan isu Century.
Publik seolah-olah dibuat bangga akan terpilihnya seorang warga negara
Indonesia menduduki posisi strategis di lembaga keuangan dunia tersebut. Perlahan
tapi pasti,fokus pemberitaan mulai berubah arah. Masyarakat dialihkan
perhatiannya dari skandal besar tersebut kepada isu lain. Lambat laun kasus
Century mulai menguap dan tidak pernah diangkat lagi. Heryanto (Commline,Jurnal
Ilmu Komunikasi,No.2,Juli 2010:113)
menyebut “ Kasus Century pada kenyataannya
bersinggungan dengan banyak kalangan elit politik baik yang terdapat di
pemerintahan maupun di luar pemerintahan.”
Kedua,kasus
pengemplangan pajak atau lebih dikenal dengan sebutan kasus Gayus, karena aktor
utamanya adalah seorang pegawai yang bekerja di kantor pajak. Seperti kasus di
atas,awalnya seluruh media gencar memberitakan isu ini. Hingga setiap hari pada
waktu itu pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik didominasi
oleh Gayus. Bahkan ketika keluar tanpa izin dari rumah tahanan setelah
dijadikan tersangka atau bahasa lainnya adalah plesiran ke luar negeri, media
massa semakin bersemangat mengejar pemberitaan mengenai masalah ini dan
menghubungkan dengan adanya kongkalikong di dalam rutan. Namun ketika akhirnya
Gayus tertangkap dan dikembalikan ke rutan, dan ingin berbicara blak-blakan
untuk mengungkap siapa sebenarnya bos besar dibalik kasusnya itu, muncul isu
mengenai Dewan Revolusi Islam yang seolah menunjukkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan yang sekarang, yaitu pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Lalu disambung dengan pemberitaan kerusuhan di
Cikeusik. Kasus Gayus pun hingga sekarang tak terdengar lagi gaungnya.
Ketiga, kasus yang juga
mengindikasikan keterlibatan elit pemerintahan, yaitu kasus korupsi wisma atlet
sea games. Kasus yang menjadi kambing hitam tersendatnya proyek pembangunan untuk perhelatan terakbar di Asia Tenggara
tersebut awalnya diberitakan tanpa henti karena melibatkan Nazaruddin, salah
satu fungsionaris partai yang berkuasa di Indonesia saat ini yaitu demokrat. Ketika
Nazaruddin kabur ke luar negeri karena mengetahui dirinya akan dicekal oleh KPK
media massa masih terus memberitakannya secara intensif. Ketika dia tertangkap
di Kolombia dan dibawa pulang ke Indonesia pun media masih terus gencar
meliput. Sampai akhirnya ketika Nazaruddin ingin membongkar siapa saja yang
terlibat dalam kasus ini dan memberi isyarat kalau ada pejabat tinggi
pemerintah yang bermain di dalamnya, muncul lagi kasus-kasus lain yang
mengacaukan fokus publik. Pemberitaan mengenai skandal wisma atlet pun menurun
dan dikaburkan berbagai masalah baru lainnya.
Kasus-kasus di atas memperlihatkan
betapa media selalu dijadikan sebagai sarana pengalihan isu. Dan juga
menggambarkan bagaimana seorang pejabat tinggi atau elit pemerintahan yang
terlibat dalam kasus-kasus besar penyimpangan kewenangan sangat sulit untuk
disentuh dan dibongkar kejahatannya. Pemerintah selalu berhasil melakukan cara
ini agar citra pemerintahannya tetap terjaga walaupun bergelimang dengan sejuta
permasalahan.
Pemerintah selalu menggunakan cara
ini ketika sudah mulai terpojok oleh kasus yang dilakukan oknumnya sendiri. Namun
pada kenyataannya metode ini menurunkan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintahan yang sedang berjalan. Publik semakin pintar untuk menilai jika
suatu isu dialihkan karena cara ini telah dilakukan berulang kali sehingga
masyarakat menjadi hafal dan peka terhadap hal tersebut.
Media massa menjadi alat yang paling
penting dalam menciptakan, mengembangkan informasi di tengah-tengah masyarakat
dan bahkan menenggelamkan isu-isu sebelumnya. Secara teoritis,pernyataan
tersebut mungkin bisa digambarkan oleh kutipan di bawah ini:
Dilihat dari sudut pandang inilah
sebenarnya secara teoritis media memiliki peran mengalihkan isu dalam konteks
karena ada peristiwa yang lebih baru dan lebih aktual. Dalam perspektif lain,
kecenderungan asumsi ini juga dipicu oleh tingkat persaingan media yang begitu
ketat dan kompetitif.
Media
yang selalu menyajikan peristiwa paling baru, aktual dengan ragam sudut pandang
yang lebih kreatif dan inovatif dalam menyajikan informasi, ia akan lebih dapat
mendapatkan pangsa pasarnya.
Dalam konteks inilah kemudian kita bisa melihat bagaimana sebuah peristiwa
politik, ekonomi, hukum dan sebagainya seolah-olah begitu cepat muncul dan
tenggelam sesuai dengan trend
informasi. (Trinanda, http://politik.kompasiana.com/2011/03/25/problem-kekuasaan-politik-yudhoyono-pengalihan-isu-dan-fakta-opini-yang-berhasil-disumirkan,akses
27 Desember 2011).
Pengalihan
isu sebagaimana kita ketahui dilakukan agar publik yang mengikuti perkembangan
isu-isu seputar penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah teralihkan perhatiannya
kepada masalah lain. Sehingga lambat laun mereka menjadi lupa dan kasus
tersebut pun tidak diusut tuntas lagi. Dan pejabat-pejabat yang terlibat di
dalamnya pun terbebas dari investigasi. Dengan kata lain, opini publik
yang terbentuk pun tidak lagi
terkonsentrasi pada masalah atau isu yang ingin ditutupi tersebut. Opini publik
di sini, Nuruddin (2001:55) menjelaskan,” kelompok yang tidak terorganisasi
serta menyebar di berbagai tempat dengan disatukan oleh suatu isu tertentu
dengan saling mengadakan kontak satu sama lain dan biasanya melalui media
massa.
Lasswell (seperti
dikutip Severin dan Tankard,2005:386-388) mengatakan media massa memiliki empat
fungsi,yaitu:pengawasan,korelasi,penyampaian warisan sosial dan hiburan.
Pertanyaannya sekarang, jika pengalihan isu menjadi metode yang sering
dilakukan media massa, bukankah layak jika fungsi media massa bertambah satu
lagi?
Penutup
Media massa merupakan
bagian penting dari suatu sistem demokrasi. Dengan adanya media massa jalannya
pemerintahan bersistem demokrasi akan terkontrol,terawasi,dan tetap terjaga
pada jalurnya. Hal itu sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai watchdog atau
pengawas. Media massa juga harus bekerja sesuai dengan aturan yang telah ada di
dalam undang-undang.
Media massa sebagai corong atau
sarana bagi rakyat untuk menyampaikan ide-ide,aspirasi,serta pendapat
masyarakat tidak boleh ada unsur kepentingan golongan tertentu. Kemudian
bagaimana dengan fenomena konglomerasi media yang semakin banyak di Indonesia?
Tentu ini merupakan hambatan bagi jalannya pemberitaan yang netral. Hal ini
jelas mengkhawatirkan karena jalur-jalur informasi di Indonesia hanya akan
dikuasai segelintir orang saja dari sekian banyak masyarakat di Indonesia.
Publik akan digiring opininya kepasa hal-hal yang menyangkut dengan
kepentingan-kepentingan konglomerat itu saja.
Media massa juga diharapkan agar
menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Jangan sampai hanya mengejar
keaktualan atau nilai sebuah berita namun tidak pernah tuntas diinvestigasi.
Media massa harus tetap berada di pihak rakyat sebagai pengawal demokrasi.
Demokrasi itu sendiri adalah dari rakyat,oleh rakyat,dan untuk rakyat. Jadi
sudah sepantasnya kepentingan rakyat lebih diutamakan dan diperjuangkan dalam
sebuah sistem demokrasi.
Kemudian menyikapi
pengalihan-pengalihan isu yang terjadi dalam pemberitaan media massa di
Indonesia kita sebagai publik jangan mudah teralihkan perhatiannya. Kita tidak
boleh lupa pada kasus-kasus besar yang terjadi. Dengan begitu kita bisa
mengontrol kasus-kasus tersebut hingga diusut sampai tuntas dan tidak ada lagi
elit pemerintahan atau pejabat tinggi yang dengan mudah lolos dari jeratan
hukum setelah melanggar kewenangan seenaknya.
Pengalihan isu mengenai pelanggaran
kewenangan oleh elit pemerintahan harus diminimalisir oleh media massa dengan
cara tetap konsisten pada pemberitaan kasus-kasus besar secara berkelanjutan
sampai tuntas diinvestigasi. Dengan demikian negara ini akan bersih dari setiap
pelanggaran kewenangan baik itu korupsi,kolusi,pengemplangan pajak dan yang
sejenisnya.
Terakhir muncul sebuah pertanyaan,
“Seandainya semua media massa yang ada di Indonesia sudah berada di bawah
kekuasaan segelintir orang,siapa lagi yang dapat diandalkan untuk mengawal
demokrasi? Tentu takkan terbayang bagaimana jadinya negara ini ke depan. Kita
hanya bisa berharap semoga para konglomerat media tersebut menggunakan
kekuasaannya atas informasi dengan berpihak kepada rakyat dan tidak
memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri atau golongannya.
Daftar Pustaka
Buku
Baran,Stanley J.Pengantar Komunikasi Massa:Literasi Media
dan Budaya, terj. Wulung Wira
Mahendra. Vol 6. Jakarta: Salemba Humanika,2011.
Nurudin.Komunikasi Propaganda.Bandung: Remaja
Rosdakarya,2001.
Severin,Werner
J.,Tankard,James W.Teori
Komunikasi:Sejarah,Metode,dan Terapan dalam Media Massa, terj. Sugeng Hariyanto. Vol 5. Jakarta:Kencana,
2005.
Jurnal
Heryanto,Gun Gun.
“Kepercayaan Publik dalam Polemik Kasus Century di Media Massa dan Situs
Jejaring Sosial,” Commline: Jurnal Ilmu
Komunikasi, I (Juli, 2010), hal 112-129.
Internet
0 komentar:
Posting Komentar