Bangsa yang
besar adalah bangsa yang tidak melupakan pahlawan-pahlawannya.Tak terkecuali
mengenai perjalanan perfilman indonesia.Tahun 1900 mulai hadirnya pertunjukan
film (bioskop) di Batavia, melalui peristiwa Pertoenjoekan Besar yang Pertama,
di Manege, Tanah Abang, Kebonjae. Peristiwa itu terpaut lima tahun setelah
Robert Paul dari Inggris dan Lumiere Bersaudara dari Prancis mendemonstrasikan
proyektor temuannya, menandai dimulainya sejarah sinematografi atau seni gambar
bergerak atau film.
Saya kira,
puncak masa kejayaan film Indonesia itu ada pada era tahun 1970-an. Kala itu
film Indonesia benar-benar berjaya menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Ribuan penonton berduyun-duyun menyerbu gedung bioskop, mulai dari kota hingga
pelosok-pelosok desa. Khususnya di desa, tidak ada yang dinanti-nanti selain
film Indonesia. Begitu malam tiba, film Indonesia berjaya. Gedung-gedung
bioskop menjadi raja.
Ketika itu,
produksi film Indonesia melimpah, dengan puncaknya pada tahun 1977, yaitu
sebanyak 367 film. Hampir setiap film yang diprodukdi berjaya di gedung
bioskop. Film percintaan, silat, hingga komedi semuanya diserbu penonton. Namun
film percintaan nampak memimpin dengan bintang-bintang film kenamaan yang stereotype seperti Roy Martin, Robby
Sugara, Yati Octavia, Yeny Rachman, dan Doris Callebaut yang ketika itu dikenal
sebagai the Big Five. Kejayaan film
percintaan ketika itu ditingkah oleh film musikal Rhoma Irama yang setiap
kemunculannya selalu mencengangkan penonton dan masuk box office selama
berminggu-minggu.
Pada akhir
tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an yang berjaya adalah film-film
percintaan remaja ala Rano Karno-Lydia Kandow, dengan meledaknya film Gita Cinta dari SMA pada tahun 1979.
Jenis film percintaan remaja ini berjaya dengan bintang-bintang yang ketika itu
juga remaja. Selain Rano Karno dan Lydia Kandow, tercatat pula Yessy Gusman,
Herman Felani, Anita Carolina, Kiki Maria, dan lain-lain. Kejayaan film
percintaan remaja ini ditingkahi oleh film-film komedi Warkop DKI dengan
debutnya Mana Tahaan yang meledak
dahsyat pada tahun 1977. Awal tahun
1980-an adalah masa kejayaan film-film percintaan remaja dan komedi Warkop
DKI.
Mulai tengah
tahun 1980-an film-film model Si Boy mengambil alih, dimulai dengan film Catatan Si Boy yang meledak pada tahun
1987. Film tersebut melejitkan bintang baru yang bernama Onky Alexander.
Selanjutnya, Onky berjaya dengan film-film sekuel Catatan Si Boy. Onky bahkan sempat identik dengan imej Si Boy.
Pada
tahun-tahun itu acara festival film indonesia masih diadakan tiap tahun untuk
memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena
satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang
membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang
dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di
negara sendiri. Film-film dari hollywood dan hongkong telah merebut posisi
tersebut.
Hal
tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film petualangan
sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf,penyanyi cilik penuh bakat
Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada
anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil
membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia.
Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film
secara komersil.
Namun,
akhir-akhir ini perfilman Indonesia mengalami penurunan kualitas. Memang saat
ini jumlah film nasional yang diputar di bioskop cukup banyak,tapi kualitas
film yang rendah akan membuat industri perfilman menyongsong kematian dalam
tahun-tahun ke depan.
Persoalan yang membelit dunia perfilman Indonesia, antara lain soal tata edar film di bioskop dan masalah bioskop yang kurang mendapat dukungan pemerintah. Dengan kondisi ini,diprediksikan dari 600 layar bioskop yang ada di Indonesia, 100 layar akan hilang pada tahun depan. Selain itu,masalah kualitas film yang masih rendah.Pihak produksi hanya mengharapkan keuntungan semata.
Persoalan yang membelit dunia perfilman Indonesia, antara lain soal tata edar film di bioskop dan masalah bioskop yang kurang mendapat dukungan pemerintah. Dengan kondisi ini,diprediksikan dari 600 layar bioskop yang ada di Indonesia, 100 layar akan hilang pada tahun depan. Selain itu,masalah kualitas film yang masih rendah.Pihak produksi hanya mengharapkan keuntungan semata.
Lihat
saja tema-tema film yang beredar masih seputar komedi, seks,musik, dan horor.
Mirip kondisi perfilman Indonesia era 1980-an. Saat itu film Indonesia berada
pada masa kejayaannya. Jumlah produksinya terus meningkat.Bahkan, ada sekitar
140 film yang hadir di bioskop dalam satu tahun.Namun, soal kualitas,tak bisa
diandalkan. Tema-tema komedi,seks,horor, dan musik mendominasi produksi film
pada tahun-tahun tersebut. Dengan adanya film-film horor yang menjadi “andalan”
produser Indonesia, menurut saya perfilman Indonesia yang sekarang sangatlah
banyak yang tidak mendidik dibanding yang mendidik.
Pada
februari 2011 lalu, asosiasi perusahaan film Amerika (MPA Motion Pictures
Association – atau konotasi umumnya : Hollywood) berhenti untuk menyalurkan
film-film hollywood ke Indonesia. Hal ini terkait dengan protes mereka tentang
adanya bea distribusi yang notabene cuman ada di Indonesia.
Ada yang menyambut baik. Dengan alasan
nasionalisme, mereka mengutarakan sudah waktunya Indonesia menunjukkan siapa
yang berkuasa di negara sendiri. Jangan mau Indonesia disetir oleh
kepentingan asing. Kata mereka : “salut terhadap pemerintah yang berani
bertindak”. Diharapkan dengan tidak lagi dikuasainya bioskop Indonesia dengan
produk Hollywood, film nasional akan merajalela.
Saya pesimis terhadap semua pandangan di atas.
Pertama, seringkali pemerintah tidak pernah benar-benar tulus terhadap
kebijakan-kebijakan nasionalis seperti diutarakan di atas. Ada masa pemerintah
menghimbau menggunakan produk dalam negeri, tetapi untuk rapat kabinet saja
menggunakan air mineral produk asing. Saya sendiri ragu pajak yang kita
bayarkan sebenarnya telah digunakan dengan benar atau tidak , toh jalan-jalan
dengan kondisi baik bisa saya hitung dengan jari, birokrasi tanpa biaya hampir
mustahil di negara ini.
Kedua, ini yang menurut saya yang paling menarik
: apa benar kita rugi dijajah perfilman asing? Film hollywood sejauh ini
menunjukkan kualitas. Mereka adalah pionir dunia perfilman global, dengan
segudang talenta dan teknologi yang melebihi produksi negara lain manapun.
Menikmati perfilman Indonesia saat ini adalah
sama saja kita di jajah oleh bangsa kita sendiri. Dengan tidak bermaksud
diskriminatif, dunia media visual (sinetron, film) masih dikuasai oleh pemilik
modal yang macam Ram Punjabi dan kawan-kawan (orang-orang India yang punya
konglomerasi dunia hiburan Indonesia), yang entah kenapa saya lihat tidak ada
keinginan sama sekali untuk meningkatkan kualitas perfilman nasional itu
sendiri. Mereka dengan gampangnya menyalin ide, bahkan plek-plekan cerita
naskah dan karakter hanya untuk menghasilkan dengan biaya rendah apa yang
mereka sebut keinginan pasar. Miskin kreatifitas dan motivasi memajukan
perfilman nasional, boro-boro bisa tampil ke luar negeri, perfilman nasional
rasanya di negara sendiri jalan di tempat.
Kemudian,ada
faktor-faktor penghambat lain majunya perfilman Indonesia.Seperti pesatnya kemajuan teknologi atau industri audio visual
khususnya home entertaiment (kaset video, laser disc, video
compact disc/VCD, digital video disc/DVD)sebagai media tontonan
alternatif;membanjirnya film impor (yang ini sudah teratasi),perkembangan stasiun TV swasta (era film berubah ke rumah
dan booming sinetron), mutu film yang relatif rendah, (ide-ide tidak berkembang, ini ditandai oleh banyaknya
film yang berbau seks dan asal jadi),perubahan
tuntutan pasar (selera penonton, kebebasan berekspresi, penyesuaian zaman dan
sebagainya).
Namun, Film Indonesia
sedang potensial untuk maju dan berkembang menjadi industri besar yang bagus
asal direction-nya benar dan dikelola dengan baik. Namun perlu dicatat, jumlah
film yang semakin banyak harus diimbangi kualitas film yang baik karena
masyarakat menginginkan film Indonesia berkualitas. Film indonesia sekarang ini
berada dalam kondisi persiapan menuju era industri karena mulai banyak produser
film yang membuat film dengan tujuan komersil, menciptakan pasar, menggunakan
tenaga profesional, dan metode profesional.Majunya industri film tanah air, ditunjukkan tidak hanya dari banyaknya
film yang diproduksi dan meningkatnya kualitas pemain, cerita dan manajemen
perfilman itu sendiri. Namun juga bertambah banyaknya penikmat tontonan layar
lebar.
Menurut saya,ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memajukan
perfilman di Indonesia.Pertama,di ekonomi, monopoli tidak akan pernah baik, sudah
seharusnya persaingan dibiarkan berkembang dengan alami karena dengan
persaingan itu timbul motivasi pihak plaku pasar untuk mencari yang terbaik.
Biarkan perfilman Indonesia menggunakan film asing sebagai pelajaran dan
benchmark, pemerintah silakan menaikkan pajak asalkan pajak tersebut kembali ke
manfaat yang benar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kedua,dirikan
sekolah film, berikan insentif yang baik untuk dunia perfilman nasional,
gunakan kekuasaan untuk membatasi keluarnya film-film sampah di atas, saya
yakin bangsa ini juga punya kemampuan untuk bersaing dengan cara yang elegan.
Ketiga,para pelaku perfilman harus senantiasa mampu mengarifi
berbagai pergerakan zaman maupun kecenderungan dari dunia perfilman yang ada.
Melihat berbagai fakta sejarah perfilman Indonesia, diharapkan segenap pihak
yang terkait tentunya dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang sangat berharga
untuk kedepan mampu membawa perfilman benar-benar menjadi tuan rumah di negeri
sendiri.
Demikian essai
ini saya buat,dengan harapan dikemudian hari dunia perfilman indonesia menjadi raja
di negeri sendiri.Dan juga bisa bersaing dengan industri perfilman luar negeri
sekelas hollywood atau bahkan bisa merajai pangsa pasar perfilman dunia.Amin.
0 komentar:
Posting Komentar