Sebuah resensi film tokoh
pembaharuan selalu menarik untuk disimak. Resensi Film Sang Pencerah - Perjuangan KH.Ahmad Dahlan ini adalah
salah satunya. Sebuah epik yang diketengahkan Hanung Bramantyo sang sutradara.
Dibuka dengan kelahiran Muhammad
Darwis, dengan segala upacara adat Jawa yang
mengikuti kelahirannya. Tergambar jelas bahwa Darwis
terlahir dari kalangan berada. Sekitar 30 menit pertama, kita diajak berlari
mengenal semua sosok yang ada di film ini. Sedikit agak melelahkan memang,
karena semua tokoh memiliki peran penting dalam perjalanan hidup Darwis yang
kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan setelah pulang
dari mekkah untuk berhaji.
Ritme cerita film mulai melambat
menginjak durasi 60 menit. Film ini mulai menampakkan 'kegagahannya'. Di usia
21 tahun, Ahmad Dahlan gelisah
atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah Bid'ah sesat. Pemberian
sesajen untuk upacara adat Jawa yang dikaitkan dengan Islam, pengkultusan imam
Masjid Besar Kauman, hingga peletakan kedudukan raja keraton sebagai pemangku
agama Islam, dan salahnya arah kiblat membuatnya gelisah. Jabatannya sebagai khotib
Masjid Besar Kauman membuatnya bisa memulai
langkah perubahan segera. Dalam kotbah yang dilaksanakannya, pemikiran
pembaharuan diutarakan pada jemaat. Tak pelak hal tersebut membuat berang Kyai Penghulu Kamaludiningrat yang
menjadi imam Masjid Besar Kauman.
Tak mendapat tempat di Masjid Besar
Kauman, melalui Langgar/Surau-nya Dahlan mengawali pergerakan dengan mengubah
arah kiblat. Sebagai seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu memerintahkan
massa untuk merobohkan surau Ahmad Dahlan karena dianggap mengajarkan aliran
sesat. Pemikiran modern Ahmad Dahlan mengantarnya untuk bergabung dengan
organisasi Budi Utomo. Karena itu ia juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya
karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tak hanya itu,
ingin menyebarkan agama di kalangan berpendidikan, Ahmad Dahlan mengajar di
sekolah Belanda. Dari sanalah ia mengadopsi sistem sekolah modern yang mendudukkan
siswanya pada bangku. Tuduhan datang lagi, Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai kafir hanya karena membuka sekolah yang
menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda.
Tapi tuduhan tersebut tidak membuat
pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah dan lima murid-murid setianya : Sudja,
Sangidu, Fahrudin, Hisyam dan Dirjo, Ahmad Dahlan terus berjuang. Hingga
akhirnya membentuk organisasi Muhammadiyah, yang berarti pengikut Nabi
Muhammad.
Film ini menunjukkan beberapa aspek psikologi sosial di dalamnya. Pertama,konformitas
yang dilakukan oleh masyarakat di daerah keraton. Tidak ada seorangpun yang
berani melawan arus dari tradisi kejawen yang jelas-jelas berlawanan dengan
syariat islam.Hanya Ahmad Dahlan seorang yang berani dan tegas menolak hal
tersebut.Dan bahkan ia berusaha untuk merubahnya.Kedua,faktor obedience atau kepatuhan jelas tampak
di masyarakat kepada kyai besar Masjid
Kauman.Apapun yang dilakukan olehnya dijadikan sebagai tradisi dan adat.Walaupun
sesungguhnya itu merupakan destructive
obedience atau kepatuhan yang merusak karena berlawanan dengan syariat
tadi.
Faktor social power juga jelas
tampak dalam film ini.Sang Kyai besar dengan mudah mempengaruhi orang lain
untuk melaksanakan tradisi kejawen,memerintahkan untuk merobohkan langgar atau
surau tempat Ahmad Dahlan dan murid-muridnya belajar dan mengajar agama,serta
banyak hal lain di dalam film ini yang menunjukkan sang kyai mempunyai social power yang kuat.
Penggambaran tokoh Ahmad Dahlan dalam film ini menunjukkan bahwa ia tidak
terpengaruh oleh lingkungannya dan melakukan konformitas serta oleh aspek-aspek
social influence lainnya..Namun
sebaliknya,ia dengan berani melakukan perubahan dan berlawanan arus dari
masyarakat tempat tinggalnya.Ahmad Dahlan menerapkan teknik-teknik mempengaruhi
orang lain kepada masyarakatnya sehingga meninggalkan tradisi lama mereka dan
kembali kepada syariat islam.
1 komentar:
Di zaman sekarang social power pun masih banyak terjadi ya, kalau penjajahan mungkin social powernya terang-terangan. Namun, zaman sekarang justru diam-diam tapi dampaknya luarbiasa, dan karena diam-diam itulah yang membuat hal tersebut sulit untuk dipatahkan.
Ambil saja contoh, kampus embel-embel agama. Berlandaskan agama, ia menjadikan semacam stereotipe bahwa yang disampaikan adalah kebenaran. Padahal, manusia juga tetaplah manusia. Mau beragama, maupun tidak, potensi untuk berbuat salah juga sama banyak :))
Posting Komentar